“ENTAH”

Mungkin seseorang perlu membuat sejarah kata “Entah”. Kata ini berpusar, tak jarang dalam bisik-bisik, tiap kali manusia terasa terasing di dunia, ketika datang, kelaparan, perang dan sampar, “Empat penunggang kuda malapetaka”.
Penyakit yang kini berjangkit dari tempat ke tempat jauh, berbeda skala dengan wabah-wabah di zaman dahulu, tapi kemudian ENTAH menyembul ke depan. Mari kita tengok: catatan Marchionne Di Coppo Stevani tentang wabah pes dahsyat yang menyerang Firenze di tahun 1348 adalah ungkapan ENTAH yang menggores.
Wabah itu demikian ganas dan cepat, hingga di rumah-rumah yang terkena, para-para pelayan yang melayani si sakit meninggal oleh penyakit yang sama. Hamper semua yang terserang mati dalam waktu kurang lebih empat hari. Baik tabib maupun pengobatan tak berpengaruh. Tampaknya taka da cara menyembuhkan, entah karena penyakit ini sebelumnya tak dikenal, entah karena para tabib belum pernah menelaahnya.
Di hari-hari yang menakutkan itu, wabah membinasakan Eropa dan ketika ENTAH berkecamuk, orang-orang menghentikan dengan kesimpulan mengerikan: stop ENTAH. Sudah ditemukan jawabannya: pembawa sampar adalah orang Yahudi!
Orang Yahudi, demikian didesas-desuskan menyebarkan dari racun dari jeroan katak yang dicampur dengan minyak dan keju. Orang-orang Kristen meyakini” penjelasan” itu. Meskipun Paus melarang kekerasan pada 14 Februari 1349 di Kota Strasbourg, 2000 orang Yahudi ditelanjangi dan dibantai. Di Mainz, 3000 orang. Tapi ENTAH tetap kembali dan tetap coba dibungkam dengan berbagai cara.
Sampai datang zaman modern, ketika entah tampak terdesak. Ia yang menyebabkan rasa takut tak menentu mulai diganti. Rasa cemas mulai punya penjalasan. Dongeng ditinggalkan, tahayul disingkirkan. Demikianlah semangat Aufklarung menyimpulkan: manusia mampu dan harus berani membebaskan dari apa yang dinamai Kant sebagai “selbestverschuldten unmundigkeit” ketidakdewasaan yang ditumbuhkan diri sendiri. “unmundigkeit” ditandai ketidakberanian menggunakan akal, intelek, dan kearifan diri sendiri. Orang tak dewasa karena selalu butuh dibimbing tatanan social, agama dan penguasa. Orang tak dewasa karena ia tak mencari jalan sendiri untuk membereskan entah.
Sejak abad panjang ke 18, Eropa memulai semangat pencerahan ini, yang juga disebut “ zaman nalar”, age of reason.
Tak berarti hanya bangsa-bangsa di sekitar Jerman, Prancis, Inggris yang memulai itu, dengan melaksanakan sapere aude! ( beranilah untuk mengetahui) dan meletakkan nalar diposisi penting dalam hidup mereka. Orang Yunani sebelum tarikh masehi dan para ilmuan di dunia Islam di abad ke-8 sudah lebih merintis jalan melepaskan diri dari Entah. Juga tentang wabah Al majusi (933-1000). Misalnya, menggambarkan wabah dalam kitab Al Malaiyy. Ia melihat wabah dari “udara yang berpenyakit” (hawawab’i) bukan dari konspirasi iblis atau yahudi.
Kemampuan analisis tentang sebab dan akibat yang merupakan kemampuan nalar penting untuk menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidak tahuan. Yang tak diketahui berubah menjadi sekedar problem sesuatu yang dilemparkan ke depan manusia yntuk dipecahkan dan diterobos.
Tapi tak selamanya berhasil, tak selamanya membuat hidup lebih baik, dan tak selamanya bertahan. Nalar, reason berkembang memecahkan problem. Problem bukan hanya transformasi dari Entah, melainkan mempersempitnya, sebagaimana akal adalah perubahan yang membuat kapasitas nalar jadi seperti sinar laser: terang, kuat, efisien tapi sempit. Ia menguasai yang lain apa yang bukan dirinya.
Dunia modern dan akal adalah kehidupan ketika berbagai hal diubah menjadi hitungan. Dengan itu, didapatkan cara paling efektif mencapai tujuan. Dan dengan itu pula kemampuan dapat dihimpun secara progresif, makin lama makin bertambah modal, teknologi, kekuatan militer, kekuasaan politik.
Bukan kebetulan sejak saat Kant menyambut pencerahan di Eropa, dari Eropa pula bangun imperialisme yang menindas bangsa-bangsa lain yang oleh Kant tidak dimasukkan ke hitungan. Disitu tak diakui bahwa setelah akal berkuasa, akal tak lagi sadar bahwa ada yang tidak dapat dijangkaunya. Ada Entah yang diabaikan.
Hegel yakin mendekati ketakaburan bahwa yang rasional bertaut dengan yang wirklich, yang secara actual ada. Ia yakin semua realitas dapat dinyatakan dalam kategori-kategori rasioanal. Ketika Hegel mengatakan bahwa Negara harus diperlakukan sebagai, “Struktur Arsitektonis yang perkasa”, sebagai “hieroglif nalar”, Ia melakukan bahwa ada Entah yang tak bisadidefinisikan Negara.
Dalam konstelasi politik, Entah itu adalah mereka yang tidak masuk hitungan. Ada “salah hitung” yang oleh Ranciere disebut le tort. Mereka yang di luar pagar itu-pagar bangunan Negara. Pagar pembangunan ilmu pengetahuan bisa menunjukkan ada selalu yang tersisa dari yang dirangkul akal kita mendengarnya dari catatan Marchionne di Coppa Stefani. Di abad ke-21 kita menyaksikanya dari kenyataan bahwa belum juga ada solusi untuk mencegah penyakit baru, konflik baru, ketidakadilan baru.
Ilmu dan Agama memang mengklaim “akulah jawabannya” tapi mereka lupa apa pertanyaanya. Mereka lupa Entah.
Penulis : Faridatul Mufidah
NIS/NISN: 2632/0057975229
MAN 2 Semarang Kabupaten Semarang
Komentar Terbaru